Friday, December 9, 2022

Qodrat (2022)

 

Qodrat (2022)




Meskipun awalnya tampak memprihatinkan, sinema horor Indonesia tahun ini ternyata tidak sesuram yang gue bayangkan, apalagi setelah semester keduanya dibuka dengan kemunculan hantu kepala buntung ‘Ivanna’ yang begitu menyenangkan, lalu disusul film sekuel paling ditunggu sejagat meta fisika, yaitu ‘Pengabdi Setan 2: Communion’. Ngak berhenti sampai di Bunda Raminom, karena sehabis itu tayang ‘Jailangkung Sandekala’ yang anying dan ‘Inang’ yang membawakan jenis horor tanpa setan tetapi masih sukses bikin kita merinding. Senyum gue pun makin mengembang layaknya adonan donat yang dimasukkan ke dalam oven, tatkala sapaan salam dari Marsha Timothy yang kerasukan seperti menyambut para penggemar horor untuk kembali bersenang-senang bersama suguhan horor yang berbeda. ‘Qodrat’ yang digarap oleh Charles Gozali ini nantinya tak hanya akan terbalut unsur relijius yang bikin gue inget kata “tobat”, namun juga dioplos dengan adegan-adegan action yang hebat.

Kehebatan tersebut langsung ditampakkan oleh Charles sesaat kita menginjakkan kaki di menit pertama, lewat adegan opening-nya yang seperti merangkum bakal segila serta seatraktif apa sisa durasi ‘Qodrat’ nantinya. Pembuka yang memperlihatkan Vino tengah berjibaku meruqyah seorang bocah laki-laki ini bukan sekedar menunjukkan bagaimana Charles berupaya membuat tontonan horor yang tidak tanggung-tanggung, soal teknis pun dikerjakan sangat serius terutama buat urusan menghadirkan momen-momen aksi yang efeknya berasa nyata. Setelah sukses bikin mata gue melotot kayak Suzanna oleh scene pengusiran setan yang edan di awal, selama 90 menit berikutnya ‘Qodrat’ sama sekali tidak mengendorkan kemampuannya untuk mempertontonkan aksi-aksi kebaikan melawan kebatilan dengan intensitas seru yang berkobar-kobar. Durasi ‘Qodrat’ tidak ada yang dibiarkan jadi mubazir, sebaliknya dimaksimalkan buat menggebrak adrenalin.

Direncanakan sebagai trilogy, ‘Qodrat’ telah memperlakukan film pertama dengan tepat, termasuk skala penceritaan dengan tritmen tidak terlalu meluas, disertai konflik karakter yang juga terasa personal. Alhasil, ‘Qodrat’ pun bergulir menjadi sebuah tontonan origin yang fokus saat memperkenalkan dunianya sekaligus membuat penonton akrab dengan sosok protagonisnya. Pengisahan ‘Qodrat’ yang tidak rumit ini memungkinkan Charles punya cukup ruang dan lebih leluasa ketika memasukkan berbagai variasi pertempuran Pak Ustad sewaktu meruqyah orang-orang yang kerasukan. Dari sekuen baku hantam Vino yang sejago Iko Uwais lawan pengikut dajjal yang mulutnya selaknat Regan di ‘The Exorcist’, hingga pertarungan babak akhir yang ditampilkan lewat teknikal yang magis dan tingkat kebengisan visual yang sadis. Kualitas sinematik yang ditawarkan ‘Qodrat’ ini tak hanya memuaskan tetapi juga harus dijadikan panutan bagi horor lokal di masa depan, khususnya yang berisikan action.

‘Qodrat’ yang unsur relijiusnya bukan hanya sekedar tempelan memang memiliki banyak kelebihan, termasuk para bintangnya yang berakting mengesankan. Namun tak berarti film yang diramaikan oleh hadirnya Cecep Arif Rahman sebagai gurunya Vino ini lepas dari yang namanya ketidakcocokan. Bagian yang menceritakan transisi protagonis saat sedang “lemah” iman lalu berganti meyakini kembali kekuasaan Tuhan, perubahannya ini terkesan instan serta agak mengurangi efek konflik batinnya ‘Qodrat’ yang mungkin saja dampaknya bisa lebih signifikan apabila tak memotong jalan. Untungnya sih kekurangan tersebut enggak sampai bikin kenikmatan menonton aksi-aksi ruqyah mengusir jin ahli sihir jadi terganggu, kelaknatan adegannya tetap bakalan mengungguli kelemahannya. Charlez Gozali tidak hanya membuat salah satu film horor terbaik tahun ini, tetapi juga sudah mengabulkan keinginan gue melihat entitas gelap yang kagak cemen sama ayat.



Previous Post
Next Post

0 Comments: