Sri Asih (2022)
Bukan perkara yang mudah untuk mengajak penonton Indonesia datang ke bioskop buat nonton film superhero lokal, apalagi setelah layar sinema kita selama bertahun-tahun ini jadi medan pertempuran antar dua semesta jagoan terbesar, Marvel melawan DC. Butuh usaha yang lebih hardcore untuk ngeyakinin orang +62 bahwa film adiwira buatan negeri sendiri juga mampu bersaing dengan ‘Thor’ dan pahlawan-pahlawan super lainnya yang diimpor dari Hollywood. Untuk mewujudkan ambisi tersebut, niat “mulia” doang menurut gue tidaklah cukup, kekuatan konsep cerita, kemantapan esekusi serta kesiapan sumber dana adalah penyokong utama yang engga boleh dihiraukan bagi siapapun yang punya keinginan menghidupkan tokoh-tokoh sakti dari komik nusantara. Bujetnya ada, namun tak didukung penceritaan yang matang dan diperparah oleh implementasi adegan yang payah, hasilnya bisa terlihat di ‘Satria Dewa: Gatot Kaca’ yang gagal manfaatkan potensi besarnya untuk suguhkan film jagoan super made in Indonesia yang bisa kita kagumi.
Meski berprestasi dalam mengoyak harapan serta kepercayaan kita semua terhadap film superhero lokal berkat kualitas yang payah, ‘Satria Dewa: Gatot Kaca’ setidaknya sudah mau mencoba meramaikan genre yang bisa dikatakan masih pada proses belajar untuk enggak sekedar paham bagaimana hasilkan tontonan yang super seru, tapi juga sedang berada di fase pencarian jati diri agar nanti tidak lagi harus dibandingkan dengan MCU atau DCEU. ‘Sri Asih’ kemudian “mendarat” di waktu yang tepat, dengan kekuatan yang jauh lebih siap, dari teknis dan penceritaan, film kedua semestanya Bumilangit ini tentu diharapkan mampu untuk mengembalikan lagi kepercayaan penonton kita pada genre superhero Indonesia. Beban yang diboyong oleh ‘Sri Asih’ memang tidak ringan, mereka yang sudah menonton ‘Gundala’ pasti akan berharap film yang disutradarai oleh UPI ini bakalan lebih jagoan sekaligus memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan putra petir 3 tahun lalu, termasuk gue yang merasa third act-nya ‘Gundala’ antiklimaks.
Harta. Tahta. Pevita. Jika karakter Alana di film diceritakan merupakan manusia pilihan pewaris kekuatan Dewi Asih, maka Pevita Pearce juga seperti sudah ditakdirkan untuk berkostum jagoan perempuan ‘Sri Asih’. Tak hanya cocok dari rupanya yang cantik bagai bidadari kahyangan, tetapi juga meyakinkan pada saat melakonkan salah satu adisatria Bumilangit yang suka main slepetan. Secara fisik maupun seni peran, Pevita Pearce amat habis-habisan agar Alana nantinya memang terlihat sebagai petarung beladiri campuran betulan, bukan fighter tahu bulat yang baru saja kemarin mencicipi arena pertandingan. Komitmen Pevita demi karakternya tersebut enggak cuma dibuktikan lewat tampilannya yang kekar, namun juga kelihatan sangarnya sewaktu baku hantam bag-big-bug versus Randy Pangalila yang aslinya emang jagoan MMA. Adegan-adegan Pevita Pearce dalam oktagon pokoknya tidak kalah seru dengan match-nya Amanda Nunes di UFC. Mantab!
‘Sri Asih’ jelas tidak sembarangan saat milih pemain-pemainnya, selain Pevita Pearce, di sana terdapat nama-nama bintang yang tak lagi diragukan untuk urusan berakting, ada Reza Rahadian, Jefri Nichol, Surya Saputra, Dimas Anggara, Christine Hakim, Randy dan juga Revaldo yang perannya mengingatkan gue dengan lakonnya sebagai Bos Delon di serial ‘Serigala Terakhir’. Meski penceritaan ‘Sri Asih’ nantinya lebih diprioritaskan untuk mengenalkan karakter Alana serta menggali asal usul kekuatannya, tokoh-tokoh lainnya oleh Upi juga diperlakukan dengan adil dan selayaknya. Selagi durasinya harus berbagi dengan upaya Bumilangit memperluas skala jagat sinema beserta mitologinya, Jatmiko, Tangguh, Kala, Eyang Mariani, Prayogo dan barisan karakter pendukung lainnya memiliki porsi yang cukup untuk mengisahkan peran mereka masing-masing, membuat kita pada akhirnya peduli dengan kehadirannya dalam adegan, bahkan musuhnya Alana sekalipun.
Dari beberapa keunggulan yang ditunjukkan oleh ‘Sri Asih’, koreografi pertarungan serta visual efek harus diakui adalah bagian yang paling signifikan mengalami “upgrade”. Tak hanya hadirkan sekuen laga yang seru, tapi juga berhasil mempertontonkan sajian CGI yang enggak memalukan, terutama adegan berlabel “money shot” seperti penampakan Dewi Api yang terbilang mengesankan. ‘Sri Asih’ menurut gue sudah memberikan kita tolak ukur baru bagaimana semestinya film superhero lokal dibuat dan menjadi sebuah percontohan untuk proyek-proyek serupa di masa yang akan datang, termasuk deretan jagoan-jagoan Bumilangit yang selanjutnya akan difilmkan. Memang tidak sesempurna itu, namun setidaknya sewaktu melihat CGI, battle dan kostum yang dikenakan ‘Sri Asih’, kita percaya produksinya tidak murah. Bujet yang katanya sekitar 20 milyar tersebut bisa dimaksimalkan untuk menyuguhkan sebuah hiburan yang bikin gue ingin tepuk tangan, terutama saat laga final lawan raja terakhir.
Terseok-seok pada paruh pertamanya, ‘Sri Asih’ seperti juga film Indonesia umumnya memang kelihatan agak kesulitan sewaktu ingin menyampaikan cerita, apalagi dengan materi jagatnya Bumilangit yang melimpah harus berbagi durasi dengan karakter yang jumlahnya enggak sedikit. Dampaknya bisa langsung terasa begitu melihat Alana kecil yang seakan numpang lewat tanpa berikan kesan yang kuat kepada penonton. Antara Pevita dan Ibu angkatnya pun kurang diberi ruang lebih banyak agar chemistry-nya bisa tumbuh, alhasil hubungannya prematur dan momen yang seharusnya menyentuh malah jadi hambar. ‘Sri Asih’ dengan segala minus tetaplah tontonan yang masih bisa dinikmati berkat daya hiburnya yang mampu bikin kita berdecak kagum. Akhirnya Indonesia punya lagi film pahlawan super yang enggak hanya dapat dibanggakan, tapi juga kelanjutannya bakal dinantikan. Semoga karena ‘Sri Asih’ makin banyak yang tergoda untuk membuat film adiwira berdasarkan kultur lokal, bukan cuma dari koleksi jagoannya Bumilangit.
0 Comments: